"Sahur jam berapa tadi pagi kamu Mmbus?" tanya saya kepada Gembus (nama saya samarkan), sore ini. Gembus adalah tetangga sekaligus kawan sepermainan yang memang sering menjadi lawan ngobrol di sore hari
Kebetulan, rumah kami berdekatan, hanya terpaut satu rumah. Kalau sore hari, kami berdua memang sering ngobrol di teras rumah saya sambil mendengarkan musik.
"Aku kan ndak puasa Gus, jadi ndak sahur!! Kalau kamu tadi sahurnya jam 3-an tho?" jawab Si Gembus diikuti pertanyaan balik.
"Lho, katanya kamu ndak sahur, kok bisa tahu kalau aku sahurnya jam 3-an?"
"Kamu itu kalau sahur pasti berisik. Suaramu kedengeran dari rumah! Walaupun aku ini ndak sahur, tapi tadi pagi aku tetep bangun, soalnya aku di-bel sama Ningsih pacarku (sekali lagi, nama saya samarkan). Katanya sih niatnya mau mbangunke aku biar sahur. Dia taunya aku ini rajin puasa, padahal ya nol puthul, hehehe. Kadang kalau ndak ngebel, dia SMS," jawab si Gembus.
"Ooo, trus kamu bilang ndak kalau kamu sebenarnya ndak puasa?"
"Yo ndak tho Gus, laki-laki itu kan kadang memang butuh pencitraan, apalagi sama pacar sendiri, ya tho?"
"Woooo, dasar tukang tipu! Eh, tapi enak juga yo, ndak puasa tapi tetep ada yang mbangunke buat sahur... benar-bener syahdu!"
Saya kemudian sedikit merenung, mungkin inilah salah satu kenikmatan punya pacar: ada yang memperhatikan. Terutama pas di Bulan Ramadhan seperti ini; ada yang nelpon mbangunke sahur; ada yang SMS "jangan lupa tarawih"; kadang ada yang ngajak buka bareng. Romantis sekali.
Sayangnya, sampai detik ini, saya belum merasakan kenikmatan yang satu ini. Maklum lah, saya ini kan bujangan kolonial. Belum saja sendiri, unpacarable. Mungkin memang belum pas waktunya, belum dapat momentum.
"Lha, kalau kamu gimana Gus? Pacarmu sering juga nelpon atau SMS pagi buta buat mbangunin sahur?" tanya Si Gembus mengagetkan saya.
"Semprul... Kamu ini niat nanya apa mau ngeledek? Kamu kan tahu, kalau aku ini belum pernah punya pacar!" jawab saya dengan nada bicara yang agak dongkol.
"Hahahaha...!" Gembus tertawa puas, saat pertanyaan sindirannya tepat sasaran menohok saya, persis di ulu hati.
Aduh biyung. Kadang kok saya merasa, puasanya pria Jomblo itu sejatinya adalah puasa yang hakiki, puasa yang sesungguhnya, karena ndak cuma menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, tapi juga menahan perihnya perasaan.
Ah, semoga di Ramadhan berikutnya hape saya sudah bisa menerima pesan pendek: "Mas Agus sayang, bangun dong, jangan lupa sahur!"